Sunday, October 19, 2008

Malangku tampil di Kompas 2

Nah sekarang kita lanjutkan tulisan dari Drs. M. Dwi Cahyono, M.Hum pasti semua penasaran kan?ok ini dia

2. Malang sebagai Pusat Pemerintahan

Sejarah mencatat bahwa Malang beberapakali tampil sebagai pusat pemerintahan. Pada masa Hindu-Buddha, setidaknya terdapat lima kerajaan yang berpusat di Malang, yaitu Kanjuruhan (abad VIII), Mataram masa pemerintahan Pu Sindok (abad X), Singhasari (abad XIII), vasal Majapahit di Tumapel dan Kabalan (abad XIV-XV), serta kerajaan kecil Sengguruh (abad XVI).

Keberadaan pusat pemerintahan berlatar agama Hindu di Malang berakhir dengan adanya ekspansi Kasultanan Demak terhadap “kantong kekuasaan Hindu terakhir Sengguruh (Malang selatan)” dibawah pimpinan Trenggana tahun 1545. Kekuasan Demak atas Malang tidak berlangsung lama, seiring dengan runtuhnya Kasultanan Demak dan selanjutnya digantikan oleh Kasultanan Pajang dan Mataram.

Pada awal pemerintahan Kasultanan Mataram, yang diperintah oleh Panembah-an Senapati, penguasa di Malang menolak tunduk kepada Mataram. Dalam kitab “Babad Tanah Jawi Pesisiran” diberitakan bahwa Adipati Malang dan seluruh adipati di Jawa Timur menolak tunduk pada Mataram. Pasukan Mataram yang dikerahkan oleh Senapati tidak berhasil menundukkan Adipati Malang, dan baru berhasil oleh ekspansi militer pada masa pemerintahan Sultan Agung (1614).

Dalam legenda lokal “Babad Malang” dikisahkan bah-wa kala itu Adipati Malang dijabat oleh Ranggo Tohjiwo, kakak Panji Pulangjiwo – panglima perang Malang yang gugur di dalam pertempuran melawan Mataram. Pusat pemerintahan berada di Pakisharjo, yang kemungkinan berlokasi di lereng barat Gunung Buring (dahulu termasuk Distrik Pakis). Basis pertahanan mempergunakan bekas benteng dari masa awal kerajaan Singhasari di Kutho Bedhah, yang berada di tanah membukit dan terlindung oleh tiga aliran sungai (Brantas, Bango dan Amprong). Toponimi “Kutho Bedhah” berarti kota atau benteng kota yang terkoyak oleh serangan musuh. Bentuk topografinya mengingatkan kita pada supit udang (supit urang).

Tempat inilah yang kiranya dalam sumber sejarah lain dinamai “Supit Urang”.
Kawasan Malang oleh Mataram ditempatkan ke dalam “Mancanegara atau Bang Wetan”, dan dipimpin oleh adipati. Walaupun secara de yure kawasan Malang ditempatkan dalam kekuasaan Mataram, namun sebagaimana halnya penguasa-penguasa lokal lain di mancanegara, Adipati Malang juga memerintah secara semi-otonom. Bahkan, sepeninggal Sultan Agung, penguasa di Malang bermaksud untuk turut memisahkan diri dari kekuasaan Mataram. Oleh karenanya, para penguasa Mataram pengganti Sultan Agung berusaha un-tuk mereintegrasikan Malang kedalam kekuasaan Mataram.

Upaya ini antara lain dilakukan oleh Sultan Amangkurat II yang berkoalisi dengan Kompeni Belanda, dan baru benar-benar berhasil pada tahun 1767. Ketika Kompeni Belanda mengusai Malang (1767), penguasa di Malang adalah Raden Dipatie Wironegoro (1749-1767). Ia digantikan oleh Mojokoesoemo, yang memerintah dalam waktu singkat (1767-1768). Kurun waktu pemerintahannya yang amat singkat ini tampaknya terkait dengan instabilitas di Malang pada tahun 1767-1771.

Pejabat yang memerintah di Malang selanjutnya, khususnya antara tahun 1768-1820 (52 tahun) tak diketahui. Berita yang runtut mengenai para penguasa di Malang baru diperoleh sejak pemerintahan Raden Pandji Wielasmorokoesoemo atau Raden Adipati Ario Notodiningrat I. Menurut Surat Resolusi tertanggal 21 Oktober 1820, ia memakai gelar “Ra-den Tumenggung (RT)” Notodiningrat (1820-1839), yang sebelumnya menggunakan gelar “Raden Adipati Ario (RAA)”. Ada kemungkinan ia telah memegang pemerintahan sebelum tahun 1820 dengan gelar RAA, dan sejak 1820 gelarnya berubah jadi RT. Antara dirinya dan Mojokoesoemo boleh jadi masih ada satu atau dua pejabat lainnya, yang juga bergelar adipati. Kiranya perubahan gelar dari adipati menjadi tumenggung terjadi sejak tahun 1820. Hal ini tampak pula pada dua pejabat setelahnya, yaitu Notodiningrat II (1839-1884) dan III (1884-1898), juga memakai gelar RT. Dengan demikian, antara tahun 1820-1898 pemerin-tahan di Malang memasuki masa sisipan, yang disebut dengan “Masa Katumenggungan”. Dua pejabat yang memerintah sesudahnya, mulai tahun 1898-1945, yaitu Soerioadiningrat atau R. Sjarip (1898-1934) dan Sam (1934-1945), kembali mempergunakan gelar “RAA”.

Bangunan pusat pemerintahan (pendopo) dibangun pada tahun 1839, yaitu pada masa akhir pemerintahan RT Notodingrat I, atau bertepatan dengan Masa Katumenggung-an. Dengan demikian, semula bangunan ini merupakan Pendopo Katumenggungan. Oleh karenanya, bisa difahami bila desa tempat bangunan ini berdiri bernama “Temenggungan”. Ada kemukinan, sebelumnya telah terdapat pendopo lama. Jika benar demikian, boleh jadi pendopo ini adalah hasil renovasi terhadap pendopo terdahulu. Semula di sebelah selatan pendopo terdapat tanah lapang yang berfungsi sebagai alon-alon lama, yang kini berubah jadi pertokoan. Berarti, alon-alon yang dibangun pada tahun 1882 merupakan relokasi bagi alon-alon lama itu, yang peruntukannya disesuikan dengan kepentingan pemerintah Hindia Belanda.

Semenjak pemerintahan Daendels (1808-1811) daerah di Hindia Belanda dibagi menjadi sejumlah kabupaten dan karesidenan. Pada tahun 1818 konsepsi karesidendenan itu kian dipertegas dan dikukuhkan dengan Staatblaad No. 16 tahun 1819. Salah sebuah karesidenan di Jawa Timur adalah Pasuruan. Pada mulanya, Malang termasuk dalam wila-yah Karesidenan Pasuruan, yang berpusat di Kota Pasuruan sekarang. Sejak tahun 1824, di Malang ditempatkan seorang Asisten Residen, yang membawahi delapan distrik, yaitu: (1) Kota, (2) Karangploso, (3) Pakis, (4) Gondanglegi, (5) Penanggungan, (6) Ngantang, (7) Batu, dan (8) Lawang.

Kantor Asisten Residen Pasuruan di Malang berada di suatu tempat berhalaman luas lengkap dengan kolam asri, yang setelah dibangunnya Alon-alon (1882), posisinya itu tepat berada di sisi selatan Alon-alon. Sejak tahun 1926 pusat pemerintahan karesidenan dipindah dari Pasuruan ke Kota Malang, yang selanjutnya lazim dinamai “Ka-residenan Malang”. Namun demikian, Kantor Residen Malang baru dibuat tahun 1936 di pojok selatan-timur Alon-alon. Halaman luas eks kantor Asisten Residen beralih fungsi jadi pangkalan oplet dan demo. Setelah kemerdekaan RI, di areal ini dibanguan Kantor Pos hingga kini. Relokasi pusat karesidenan itu terjadi seiring dengan makin menguatnya posisi ekonomi di Malang, khususnya berkat maraknya industri perkebunan.


Alhamdulillah ternyata sejarah kota kelahiran saya begitu menarik, saya baru menyadarinya... special thanx to Drs. M. Dwi Cahyono, M.Hum

No comments: